KISAH SUAMI ISTRI URUS 43 ANAK SENDIRIAN SAMPAI SEKARANG

                  Jika dilihat seklias, "Panti Asuhan Yayasan Mata Hati" yang berlokasi di Padukuhan Karangmojo B, Kalurahan Grogol, Kapanewon Paliyan, Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta ini memang tak memiliki plakat atau tanda nama.

Namun di dalam panti asuhan yang sederhana ini, ada puluhan anak-anak yang tinggal dan menjalani aktifitas dengan penuh keceriaan.

Kepada Kompas.com, Arif Suhaermanto dan istrinya Feratri Rahmatillah, pengelola dari panti asuhan ini, bercerita jika mereka sudah mengasuh 43 anak.

Para anak-anak yang diasuh berusia 2 hingga 22 tahun dan berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

Melansir dari Kompas.com, awalnya ide membentuk yayasan ini pada 2006.

Saat itu ada gempa bumi yang berdampak ke banyak orang.

Feratri yang masih kuliah, dan seorang dokter di RSUD Wonosari kemudian mengumpulkan donasi yang disalurkan kepada 81 anak di Kapanewon Paliyan dan Saptosari.

Mereka diberikan bantuan uang saku Rp 100.000 hingga Rp 200.000.

Mereka yang dibantu, agar beban orang tuanya berkurang setelah gempa bumi mengguncang.

Seiring berjalannya waktu ada keluhan dari anak asuhnya karena membutuhkan uang sekolah, hingga harus ditinggalkan orang tuanya bekerja.

Pada tahun 2008 dengan keterbatasan, dia pun memberanikan mengasuh empat orang anak, sambil mengurus izin pendirian yayasan.

Sampai akhirnya 2011, yayasan itu mendapatkan legalitas.
*********

                       Saat ini ada 43 anak yang diasuh bersama suaminya, Arif, yang bekerja sebagai Guru Tidak Tetap (GTT) di SD Muhammadiyah Grogol.

Pola asuh yang diberikan pun berbeda dengan panti asuhan yang lain, yakni sistem pendidikan keluarga.

Setelah beraktivitas sekolah, mereka diajarkan mengaji oleh ustat

Tak ada perbedaan antara dua anak kandungnya dengan puluhan anak-anak yang diasuhnya.

Tak ada pembantu, dia mengasuh puluhan anak bersama suami dan kedua orangtuanya.

"Semuanya saya asuh seperti anak sendiri, yang kecil saja tidur sama saya. Ya seperti keluarga di rumah itu. Ada anak ada bapak dan ibu," kata Feratri di aula Yayasan Mata Hati, Selasa (16/2/2021).

"Sudah 32 anak yang lulus dari sini, ada yang menikah, ada yang sudah bekerja. Ada tiga anak yang sudah saya nikahkan, dan sudah punya anak. Jadi saya ini sudah punya cucu," kata wanita yang saat ini berusia 34 tahun.

Selain itu, Feratri menanamkan kepada seluruh anak-anaknya untuk selalu mensyukuri apa yang didapatkan hari ini.

Meski tak memasang plakat Yayasan Panti Asuhan Mata Hati atau menggunakan media sosial selalu ada saja rezeki yang diperoleh untuk membesarkan anak-anak dengan latar belakang mulai dari dibuang orangtua, hingga kurang mampu ekstrim.

Dia yakin dengan kebaikan orang-orang yang memberikan bantuan akan ditularkan kepada orang lain, sehingga rejeki yang diterima anak-anaknya akan terus mengalir.

"Doktrin saya kepada anak-anak, besok pagi kita akan mati, itu yang ditekankan. Anak-anak apa yang kita makan hari ini kita syukuri," kata dia.

"Gusti Allah akan memberikan jalan," kata Feratri.

Meski semua dalam keterbatasan, bersama anak-anaknya, dia selalu membagikan nasi kotak kepada lansia di sekitar kampungnya setiap Jumat.

Selain ucapan syukur, dia ingin mengajak agar kedepan selalu berbagi kepada orang lain.

Suami istri ini, tidak mengizinkan ada anak yang akan diadopsi.

Dirinya ingin membesarkan mereka dengan berbagai upaya.
********

Uang Tabungan untuk Beli Gawai

                Pandemi yang melanda seluruh dunia, menyebabkan anak-anak pasangan Arif dan Feratri harus belajar di rumah.

Puluhan anak ini memerlukan gawai untuk belajar di rumah karena tugas dikirimkan lewat aplikasi.

Uang tabungan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, dan rencananya akan digunakan untuk membangun ruang tidur putri pun diurungkan.

"Agar anak-anak bisa belajar ditunda dulu membangun kamar putri, lebih baik digunakan untuk membeli gawai," ucap dia.

Feratri menjatah paket internet untuk anak-anaknya agar tidak digunakan untuk bermain video game.

Meski diakuinya, sebagian anak masih ada yang mencuri waktu untuk bermain melalui gawainya, hal itu dimaklumi karena memang usia belasan masih senang bermain.

Sambil menggendong anaknya yang paling kecil, Feratri terus menceritakan suka duka mengasuh puluhan anak itu.

Meski sebagai manusia biasa, rasa lelah akan selalu muncul.

Namun pengalaman ditinggal kedua orang tuanya sejak kecil menjadi semangat untuk terus mengabdi.

Arif mengatakan, akan terus berjuang meski di masa sulit saat pandemi.

Meski ada bantuan, dia pun membuka warung kecil di rumahnya untuk tambahan operasional.

"Ya pokoknya terus berjuang, agar anak-anak bisa mandiri," kata dia.


No comments:

Post a Comment