Cerita Seru Para Pemburu Perangkat Musik Lawas


Alunan lagu Banjar Kambang Goyang mengalun dari sebuah rumah di    Komplek Graha Lestari Jalur 5, Sultan Adam. Lagu yang digubah penyanyi legendaris Kalsel Anang Ardiansyah itu semakin jelas terdengar saat penulis masuk ke dalam rumah bernomor 15 itu.
"Ini salah satu lagu dari kaset pita koleksi saya," kata Sumasno Hadi, sang pemilik rumah menyambut penulis dari Radar Banjarmasin (Jawa Pos Group), dikutip Minggu (4/11).

Dia mendengarkan lagu itu melalui tape deck, instrumen pemutar kaset pita yang kian asing sekarang. Tapi suara musik yang keluar dari pemutar kaset  jadul tetap terdengar jelas.  Sumasno mengatakan dia memang menyukai kaset pita meski terkesan kuno.

Ayah dari Ainayya Citra Sofia, 4, ini mengaku senang kaset pita sejak SMP. Kalau dihitung-hitung sudah ada sekitar seribuan kaset pita yang dikoleksi sekarang. Dulu dia rela mengumpulkan uang jajan hanya untuk sekedar membeli kaset. Dalam seminggu, dia bisa beli satu kaset.
Jenis musik pada masa itu jelas rock. Karena itulah, kaset pita yang dikumpulkan banyak jenis grup band rock seperti God Bless, Slank dan banyak musik grup band rock lokal yang terkenal.  Lagu barat juga ada. Sekarang Dosen bidang Musik dan Filsafat di Program Pendidikan Seni Pertunjukan FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin itu menambah jenis musik. Ada lagu-lagu daerah.
"Dulu,  meski banyak toko-toko kaset,  kalau mau beli harus kumpulkan uang dulu, sekarang berbeda, walaupun sudah punya penghasilan sendiri, toko kasetnya yang enggak ada," gelaknya.

Untuk berburu kaset pita, dia harus rela menyisiri pasar emperan atau berburu di  media sosial (Medsos). Biasanya dalam sebulan, ada saja tambahan kaset pita yang dikoleksinya.   Harganya pun bervariasi. Lagu Indonesia dijual sebesar Rp10 ribu - Rp15 ribu. Sedangkan lagu barat sedikit berbeda, harganya sekitar Rp15 ribu sampai Rp70 ribu.
"Bedanya kalau beli di online harus beli banyak, karena kalau beli cuma satu misalnya cuma Rp15 ribu, ongkos kirimnya Rp35 ribu per kilo, malah mahal ongkos kirimnya," ucapnya.
Karena barang dulu, maka dia harus pintar-pintar merawat agar tidak kusut atau jamuran.  Kalau sudah begitu, Sumasno dengan telaten memperbaiki, memutar-mutar dengan pulpen atau membersihkan dengan  kapas yang sudah diberi alkohol. Biar bersih kembali.
Repot ya? Kenapa harus sesusah itu untuk mendengarkan musik saja?
 "Yang jelas kepuasan hati," simpulnya.

Senada dengan Sumasno, begitu juga yang disuarakan Muhammad Iqbal. Di usianya yang 25 tahun, dia bahkan sudah punya 3000 buah kaset pita yang tersusun rapi di dalan lemari kaca. Padahal dia mengaku  baru mulai mengumpulkan kaset pada Tahun 2012.
Untuk genre, Iqbal menyenangi rock pop qasidah. Sesekali dia juga senang genre musik  instrumen saja. Tanpa vokal. "Kroncong dan Pop barat juga suka, pokoknya beragam saja, anggap seperti perpustakan musik," ucap pria kelahiran 18 Juli 1993 ini. Memang benar. Penulis mengecek ada pelbagai nomor,  dari Kalsel sampai Papua dan Sumatera, Mancanegara,  Amerika Latin, Mandarin, Inggris, dan arabia.
Ketertarikan Iqbal mengoleksi kaset pita tak lepas dari sosok ayahnya, Supriyadi. Ayahnya adalah seorang kolektor kaset pita sejak lawas.  Iqbal menuruti jalur ayahnya karena termotivasi kenakalan di masa kecilnya.
"Saat kecil saya itu sering buang-buang kaset milik ayah. Sekarang menyesal, kenapa dahulu buang-buang itu, padahal berharga sekali," tambahnya.

Karena mengganjal di benaknya, Iqbal akhirnya  menebus rasa bersalah itu dengan menjadi kolektor kaset seperti ayahnya. "Dari semua yang saya rusak-rusak, hanya 70 persen yang saya dapat sama persis, sisanya belum dapat," tawanya.
Bagaimana Iqbal bisa mendapatkan ribuan kaset yang sebagian sudah langka ini? Sama seperti Sumasno, Iqbal punya dua cara. Pertama secara offline. Satunya lewat online. Untuk offline dia masih bergelut di Banjarmasin. Tepatnya di Pasar Lima yang buka setiap Minggu pagi.
"Kalau yang susah biasanya pesan dari Semarang atau Palembang, kebetulan juga langganan di sana, kalau di Banjarmasin, ya harus pagi-pagi ke Pasar Lima, hukumnya siapa cepat dia dapat," ceritanya. Dalam satu bulan, dia bisa habis satu juta rupiah untuk membeli kaset.
Untuk koleksi kaset paling uzur, Iqbal punya keluaran tahun 1977. Album 12x2 Country Love Song asal USA. "Paling muda dari band Radja Album Yakin yang saya punya, tahun 2012 an," ungkapnya.

Bicara paling mahal, Iqbal menyodorkan kaset Album Qasidah AKA. AKA sendiri singkatan daru Apotik Kali Asin. Sebuah grup dari Surabaya pimpinan musisi Ucok Harahap.
"Itu paling mahal sih,  harganya Rp 60.000," tuturnya.
Iqbal mengaku cinta dengan musik dari kaset pita. Rasa cintanya akan kaset pita  membentengi Iqbal dari arus digital.
Bayangkan, di era ini, Iqbal sama sekali tidak pernah memutar musik lewat pemutar digital maupun platform musik online yang kini menjamur dan tumbuh.
Selain soal ketersediaan. Sensasi dan kenikmatan mendengarkan musik dari kaset kata Iqbal juga berbeda. Perjuangan mendapatkan kaset pita yang langka dan dia sukai jadi kepuasan tersendiri untuknya.
Menikmati hiburan dengan perangkat lawas, juga menjadi hobi seorang warga Sutoyo S, Banjarmasin. Penulis yang mendatangi rumah Suriani Ali, akhir pekan tadi menemukan tumpukan  piringan hitam di ruang tamunya. Terdengar suara muda Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih di album "Begadang" dari grup band Om Soneta pimpinan Oma Irama.  

Warna usang cover album bergambar Rhoma yang berdiri berdampingan dengan Elvy seakan menasbihkan uzurnya koleksi piringan hitam ini. Album ini sendiri dirilis pada tahun 1973 silam oleh Soneta Group.
Koleksi album Rhoma Irama ini bukan satu-satunya yang dimiliki Suriani. Ada setumpuk vinyl tembang kenangan. Seperti, Titiek Sandora, Muchsin Alatas, Titik Puspa, Pambers, D'Lloyd hingga Koes Plus. Semunya masih bisa digunakan, dan nyaman untuk didengar.
"Jika ditotal ada 300 keping album yang saya miliki," ujar Suriani membuka perbincangan.
Tak banyak yang masih mengoleksi vynil di Kota Banjarmasin. Radar Banjarmasin (Jawa Pos Group) sempat kesulitan mencari kolektor dan penikmat musik melalui cakram piringan hitam ini. Beruntung salah seorang penyuka musik di Banjarmasin memberitahu ada yang masih getol memakai vinyl.

Berada di tengah kota, tak jauh dari Masjid Raya Sabilal Muhtadin, rumah Suriani tak jauh dari belakang Rumah Dinas Gubernur Kalsel. Mencarinya pun tak susah, dia ternyata seorang Ketua Rukun Tetangga di Gang III Taruna Jalan Sutoyo S, Banjarmasin.
Begitu tiba di rumah Suriani, sudah tampak aura musik. Di tengah rumah, terdapat sejumlah pemutar musik jadul. Dari pemutar berbentuk kaset, laser disc hingga pemutar piringan hitam. Menandakan sang empunya rumah penyuka musik, di pojok dinding terpajang tiga buah cakram piringan hitam dijadikan hiasan.
Meski dirinya bukan pemain musik, namun bagi Suriani, mendengar musik adalah hal yang paling menyenangkan. Dia sendiri mengaku sejak usia 10 tahun sudah senang mendengar lagu-lagu. Terlebih, seringnya mendengar sang ayah menyanyikan lagu-lagu lama.

Saya ingat betul, pertama kali suka mendengar lagu pada Tahun 1967, ketika itu lagu-lagu pop dari Lilis Suriani, Titik Puspa membuat saya semakin suka dengan lagu," terang pria kelahiran Amuntai, tahun 1954 silam itu.
Kala itu piringan hitam masih menjadi barang mahal yang hanya dapat di koleksi oleh orang-orang berduit. Suriani hanya bisa menikmati lagu melalui radio dan kaset pita. Ketertarikannya mengoleksi piringan hitam beserta pemutarnya baru kesampaian pada tahun 2006.
"Antik dan klasiknya model piringan hitam ini yang membuat saya tertarik mengumpulkan segala macam yang berhubungan cakram ini," katanya.
Jika ada beberapa orang mencari koleksi hingga ke luar daerah, bahkan ke luar negeri. Berbeda dengan dirinya, Suriani seperti sudah punya jaringan dengan para kolektor cakram hitam ini. Dia mengungkapkan, ada saja yang datang ke rumahnya untuk menawari piringan hitam dan mesinnya untuk di jual.

Tak seperti orang berduit yang mencari hingga ke luar daerah, kalau saya hanya mencari di sekitar Kalsel. paling jauh ke Kapuas, Kalteng," ungkapnya.
Dari semua koleksi vinyl, Suriani mengaku ada satu yang dinilainya sangat langka. Yakni pertamakalinya maestro pencipta lagu Banjar, Anang Ardiansyah merekam lagu-lagu Banjar melalui piringan hitam, salah satunya lagu Paris Barantai.
Menurutnya, lagu-lagu Banjar sangat sulit dan langka dicari. Berbeda dengan lagu-lagu melayu, pop lama dengan penyanyi nasional terkenal yang masih ada menjual melalui online.
"Kalau lagu Banjar berbentuk piringan hitam, susahnya minta ampun. Saya bersyukur memiliki koleksi lagu Banjar pertama kali direkam di atas piringan hitam," ucapnya.
Sayangnya Suriani lupa persisinya mendapatkan "barang langka" tersebut. Dia hanya ingat kala itu, dia mendapat tawaran secara tak sengaja dari eks penyiar radio.
"Ketika itu isinya tiga keping. Saya bayar hanya Rp120 ribu," imbuhnya.

Saking "gilanya" dengan vinyl. Suriani sempat memiliki 13 unit pemutar vinyl. Sayangnya, hanya tersisa 7 unit yang masih dapat dipakai untuk menikmati hobinya. "Sisanya rusak dan tak bisa dipakai lagi. Ada yang saya jual rongsokan kepada pemulung sebagai besi tua," tukasnya.
Dari 7 pemutar piringan hitam tersisa, satu yang paling disayangnya. Meski merknya sudah tak ada. Namun, model jadulnya membuat mesin ini satu-satunya yang paling dirawatnya. Modelnya berbentuk kotak, begitu di buka, printai sepeti batangan jarum, volume dan siap memutar cakram.
"Ini saya dapat dari orang Banjar juga pada tahun 2012 tadi. Harganya pun hanya Rp 2,5 juta," bebernya.
Di era mudahnya mendengar musik di zaman modern, Suriani tetap bertahan dengan hobinya dan tak tertarik mendengar melalui pemutar musik era baru.
"Rasanya beda tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tak hanya dirasa, juga ada rasa memiliki yang besar. Ada kepuasan tersendiri memutar musik melalui piringan hitam," pungkasnya.



No comments:

Post a Comment