Financial technology (fintech) atau yang sering disebut pinjaman online, saat ini tengah berkembang di Indonesia karena memberikan kemudahan bagi masyarakat yang hendak meminjam.
Namun ditengah kemudahan yang ditawarkan, terdapat kesulitan tersendiri untuk penggunanya seperti yang disampaikan LBH Jakarta melalui akun laman facebooknya.
Sejak bulan Mei, LBH Jakarta telah menerima pengaduan dari 283 korban pinjaman online atau financial technology ( fintech) peer to peer (P2P) lending.
"Hal ini dilakukan karena maraknya pelanggaran hukum atas beroperasinya pinjol (pinjaman online," sebut LBH Jakarta melalui unggahan di laman Facebooknya, Senin (5/11/2018).
Di dalam unggahan yang juga disertai poster dengan tajuk Jahatnya Pinjaman Online tersebut LBH Jakarta mengungkapkan beberapa modus penagihan pihak P2P lending kepada peminjam.
Seluruh data pribadi diambil dari ponsel milik peminjam, kemudian penagihan dilakukan tidak hanya kepada peminjam saja.
"Melainkan kepada seluruh nomor kontak yang ada dalam handphone milik peminjam," tulis mereka.
Modus lainnya adalah penagihan dilakukan dengan cara memaki, mengancam bahkan dalam bentuk pelecehan seksual.
Selain itu, bunga pinjaman yang tidak terbatas, penagihan yang tidak kenal waktu, nomor kontak pinjaman online yang tidak tersedia, serta alamat perusahaan yang tidak jelas.
"Masih ada banyak peminjam yang datang ke LBH Jakarta dari hari ke hari dan mengeluhkan berbagai macam hal," sebut LBH Jakarta.
LBH Jakarta mencatat, kasus korban pinjaman online ini bertambah dengan drastis sejak 2016. Diketahui, pada 2016, jumlah korban pinjaman online ini berjumlah 10 orang.
Namun, pada 2017, jumlahnya bertambah hingga 65 orang.
Di tahun 2018, pinjaman online ini bahkan memakan korban dengan jumlah mencapai 120 orang.
LBH Jakarta menyebutkan, kasus ini terjadi disebabkan oleh cara-cara penagihan yang tidak selayaknya dilakukan.
Berikut ini beberapa contoh kasus-kasus pinjaman online yang telah dilaporkan ke LBH Jakarta.
1. FY diminta pihak "Pinjaman Online UC" untuk menari telanjang di rel kereta agar pinjamannya bisa lunas.
2. A diancam akan dibunuh oleh pihak "Pinjaman Online DR" karena belum bisa melunasi pinjamannya.
3. S dipecat dari pekerjaannya karena pihak "Pinjaman Online KP" menagih pinjamannya kepada atasannya.
4. D terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaanya karena malu sebab pihak "Pinjaman Online VL" menagih pinjamannya kepada rekan sekantor
5. L melakukan upaya bunuh diri dengan meminum minyak tanah karena terlilit bunga pinjaman yang sangat besar di "Pinjaman Online DR".
6. CR melakukan upaya jual ginjal karena terlilit bunga pinjaman yang sangat besar di "Pinjaman Online RN".
7. VA ditalak cerai suami karena pihak "Pinjaman Online RN" menagih pinjamannya kepada mertuanya.
Menanggapi maraknya kasus peminjaman online ini, maka LBH Jakarta pun membuat pos pengaduan korban pinjaman online di laman LBH Jakarta, bantuanhukum.or.id.
Pos pengaduan ini dibuka mulai 4 November hingga 25 November 2018.
Terkait pembentukan posko pengaduan oleh LBH Jakarta ini, pihak Ketua Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Ajisatria Suleiman, belum mau memberi keterangan ketika dihubungi oleh Kompas.com.
Dia mengatakan, masih akan merundingkan hal ini dengan beberapa pihak terkait sore nanti.
"Masih mau dirapatkan sore nanti," ujar Ketua Aftech Ajisatria Suleiman.
Keberadaan perizinan fintech P2P lending telah diatur dalam Peratutran Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Berdasarkan data OJK, hingga Oktober 2018 terdapat 73 penyelenggara fintech P2P lending lending yang telah resmi terdaftar.
Selain itu, masih ada 217 perusahaan tekfin P2P lending yang saat ini tengah mengajukan izin untuk bisa diakui OJK. (Kompas.com/TribunWow)
No comments:
Post a Comment